Selasa, 11 Februari 2014

Kearifan Lokal Bugis (Kerajaan Wajo)

BELAJARLAH MENCAPAI WAJO
Bangsa kita dianggap memiliki kebiasaaan negatif seperti pemalas, tidak bermental baja, gampang diadu domba, mental jajahan, konsumtif, tak percaya diri dll. Sejumlah analis kehilangan akal untuk menjawab Apakah sesungguhnya yang mampui merubah kebiasaan itu.
Sesungguhnya banyak contoh suku bangsa kita yang menolak pasrah. Bugis , di sulawesi selatan miliki tradisi kuat melawan Hal yang tidak jelas dan Hal yang tidak dipahami. jangan pasrah pada Anu temmanessae sibawa Anu tenripahangnge.
Masyarakat Bugis masa lalu percaya, prilaku pemimpin, sistem dan etos (pendorong kualitas) akan menentukan kondisi kehidupan dan kebiasaan baru mereka. Menurut tradisi bugis, “Lele buluu tellele abiasang, naekia lelemoo abiasangengnge, abiasang toopa palelei“. Artinya Gunung dapat berpindah tapi kebiasaan tidak dapat berpindah, namun kebiasaan dapat berpindah jika kebiasaan pula yang memindahkannya.

Pendorong kualitas utama manusia Bugis yang disebut juga “sulapa’ eppa’” (segi empat). Keempat kualitas atau sifat merupakan modalitas yang harus dimiliki setiap pemimpin.panrita (bijak dan jujur), warani (berani), macca (cerdas) dan sugi (kaya).
Seperti halnya konsep resi, batara guru dll, Sejarah Bugis memberi peran kuat pada kelompoc cerdik cendikia sebagai motor perubahan. mereka disebut to-panrita.Kelompok manusia jujur dan cerdas di berbagai bidang yang dikonsentrasikan dan menghasilkan produk dari mulai sistem sosial/hukum sampai pada teknologi transportasi, bangunan, pertahanan dll.
Menurut Matulada, “Kualitas dan kapasitas utama to-panrita bisa disimpulkan daripaseng (petuah) Ma’danrengngè ri Majauleng yang bernama La Tenritau: “Aja’ nasalaiko acca sibawa lempu” (Milikilah kecerdasan dan kejujuran kapan saja). Yang dimaksud La Tenritau dengan acca adalah kemampuan mengerjakan semua pekerjaan dan menjawab semua pertanyaan serta kecakapan berkata-kata baik, logis dan lemah lembut sehingga menimbulkan kesan baik pada orang lain. Sementara lempu’ adalah pola pikir dan prilaku yang selalu benar, tabiat baik dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Esa”
Tidak heran jika pernah ada peradaban idaman yang sangat maju saat Kerajaan Wajo miklki filosof dan cendekia besar yang legendaris bernama La Tiringeng yang memberikan fondasi kuat berkembangnya peradaban. Di antara sekian banyak petuah, ada satu hal yang jika kita tarik ke level negara masih relevan yaitu, “Napoallebirengngi to Wajoè, maradèkaè, na malempu, na mapaccing ri gau’ salaè, marèso mappalaong, na maparekki ri warang-paranna”. Artinya Orang Wajo mulia karena mereka memiliki kebebasan, kejujuran, kesucian dari prilaku buruk, kerajinan bekerja, dan memelihara harta benda.
Puncaknya Peradaban hebat Wajo saat dipimpin Arung Matoa Wajo ke-4 Puang Ri Maggalatung yang juga brilyan, salah satu faktor penting yang membawa Wajo mencapai puncak adalah harmoni antara penguasa (Puang Ri Maggalatung) dan cendekiawan atau to-panrita.
Menurut beberapa kisah, di era Puang Ri Maggalatung yang benar-benar berdaulat, kuat dan disegani. Ada prinsip yang menggema dan menggambarkan hebatnya peradaban wajo; “Maradèka to Wajo’è, najajiang alèna maradèka, tanaèmi ata, naia to makkètanaè maradèka maneng, ade’ assamaturusennami napopuang.”. ArtinyaOrang Wajo itu merdeka dan dilahirkan merdeka. Hanya tanah yang menjadi budak sementara manusia yang hidup di atasnya adalah merdeka.
Digambarkan oleh beberapa sejarawan berdasarkan penelitian naskah-naskah, di Era gemilang ini sampai mampu memberikan jaminan pada yang masih belum muncul ke dunia. para bayi-bayi yang belum terlahir sudah diurus dan bukan lagi menjadi tanggung jawab orang tuanya. Kebijakan Puang Ri Maggalatung disebutkan “Ri laleng tampu’ mupi namaradèka to Wajo’è.”. artinya Bahkan semenjak masih dalam kandungan, orang-orang Wajo sudah merdeka
Menariknya. Bugis memiliki tradisi pencatatan yang luar biasa dan sudah mengenal berbagai ilmu pengetahuan seperti yang terkumpul dalam ribuan naskah berbagai bentuk. Seperti Ribuan naskah Sunda, jawa dll yang menggambarkan dahsyatnya produk budaya kaum cendeikia. Puluhan ribu naskah para cendekia tidak mungkin hasil karya sedikit orang. Kita bisa berhipotesa kaum cendikia juga ada dalam jumlah besar.
Sebagaimana konsep Resi ratu dan datu di peradaban sundaland (hipotesa), Bugis juga bisa disimpulkan memang istimewa. jauh sebelum eropa punya sistem pemerintahan demokrasi yang tertata paska feodalisme, Wajo sudah pernah sukses mempraktekkannya. Mekanisme check and balance sebagai ciri utama demokrasi sudah lebih dulu ditempuh peradaban Wajo. Berbeda dengan feodalisme turun temurun, Wajo miliki raja atau pemimpin yang disebut arung matoa Wajo bukan diwarisan tetapi dipilih oleh Arung Patappuloe [40 bangsawan utama], lembaga semacam DPR).
Mengingat kebesaran Bugis, yang menjadi persepsi kini adalah berpetualang ke mana-mana, mendiami areal dekat pantai, transportasi perahu dan posturnya macho. Dimana bangunan berpilar yang menjadi tradisi bangunan hebatnya. Sebuah buku menyebutnya pilar bugis sepanjang masa. (Andi Arief Dua)