Selasa, 11 Februari 2014

Kearifan Lokal Bugis (Kerajaan Wajo)

BELAJARLAH MENCAPAI WAJO
Bangsa kita dianggap memiliki kebiasaaan negatif seperti pemalas, tidak bermental baja, gampang diadu domba, mental jajahan, konsumtif, tak percaya diri dll. Sejumlah analis kehilangan akal untuk menjawab Apakah sesungguhnya yang mampui merubah kebiasaan itu.
Sesungguhnya banyak contoh suku bangsa kita yang menolak pasrah. Bugis , di sulawesi selatan miliki tradisi kuat melawan Hal yang tidak jelas dan Hal yang tidak dipahami. jangan pasrah pada Anu temmanessae sibawa Anu tenripahangnge.
Masyarakat Bugis masa lalu percaya, prilaku pemimpin, sistem dan etos (pendorong kualitas) akan menentukan kondisi kehidupan dan kebiasaan baru mereka. Menurut tradisi bugis, “Lele buluu tellele abiasang, naekia lelemoo abiasangengnge, abiasang toopa palelei“. Artinya Gunung dapat berpindah tapi kebiasaan tidak dapat berpindah, namun kebiasaan dapat berpindah jika kebiasaan pula yang memindahkannya.

Pendorong kualitas utama manusia Bugis yang disebut juga “sulapa’ eppa’” (segi empat). Keempat kualitas atau sifat merupakan modalitas yang harus dimiliki setiap pemimpin.panrita (bijak dan jujur), warani (berani), macca (cerdas) dan sugi (kaya).
Seperti halnya konsep resi, batara guru dll, Sejarah Bugis memberi peran kuat pada kelompoc cerdik cendikia sebagai motor perubahan. mereka disebut to-panrita.Kelompok manusia jujur dan cerdas di berbagai bidang yang dikonsentrasikan dan menghasilkan produk dari mulai sistem sosial/hukum sampai pada teknologi transportasi, bangunan, pertahanan dll.
Menurut Matulada, “Kualitas dan kapasitas utama to-panrita bisa disimpulkan daripaseng (petuah) Ma’danrengngè ri Majauleng yang bernama La Tenritau: “Aja’ nasalaiko acca sibawa lempu” (Milikilah kecerdasan dan kejujuran kapan saja). Yang dimaksud La Tenritau dengan acca adalah kemampuan mengerjakan semua pekerjaan dan menjawab semua pertanyaan serta kecakapan berkata-kata baik, logis dan lemah lembut sehingga menimbulkan kesan baik pada orang lain. Sementara lempu’ adalah pola pikir dan prilaku yang selalu benar, tabiat baik dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Esa”
Tidak heran jika pernah ada peradaban idaman yang sangat maju saat Kerajaan Wajo miklki filosof dan cendekia besar yang legendaris bernama La Tiringeng yang memberikan fondasi kuat berkembangnya peradaban. Di antara sekian banyak petuah, ada satu hal yang jika kita tarik ke level negara masih relevan yaitu, “Napoallebirengngi to Wajoè, maradèkaè, na malempu, na mapaccing ri gau’ salaè, marèso mappalaong, na maparekki ri warang-paranna”. Artinya Orang Wajo mulia karena mereka memiliki kebebasan, kejujuran, kesucian dari prilaku buruk, kerajinan bekerja, dan memelihara harta benda.
Puncaknya Peradaban hebat Wajo saat dipimpin Arung Matoa Wajo ke-4 Puang Ri Maggalatung yang juga brilyan, salah satu faktor penting yang membawa Wajo mencapai puncak adalah harmoni antara penguasa (Puang Ri Maggalatung) dan cendekiawan atau to-panrita.
Menurut beberapa kisah, di era Puang Ri Maggalatung yang benar-benar berdaulat, kuat dan disegani. Ada prinsip yang menggema dan menggambarkan hebatnya peradaban wajo; “Maradèka to Wajo’è, najajiang alèna maradèka, tanaèmi ata, naia to makkètanaè maradèka maneng, ade’ assamaturusennami napopuang.”. ArtinyaOrang Wajo itu merdeka dan dilahirkan merdeka. Hanya tanah yang menjadi budak sementara manusia yang hidup di atasnya adalah merdeka.
Digambarkan oleh beberapa sejarawan berdasarkan penelitian naskah-naskah, di Era gemilang ini sampai mampu memberikan jaminan pada yang masih belum muncul ke dunia. para bayi-bayi yang belum terlahir sudah diurus dan bukan lagi menjadi tanggung jawab orang tuanya. Kebijakan Puang Ri Maggalatung disebutkan “Ri laleng tampu’ mupi namaradèka to Wajo’è.”. artinya Bahkan semenjak masih dalam kandungan, orang-orang Wajo sudah merdeka
Menariknya. Bugis memiliki tradisi pencatatan yang luar biasa dan sudah mengenal berbagai ilmu pengetahuan seperti yang terkumpul dalam ribuan naskah berbagai bentuk. Seperti Ribuan naskah Sunda, jawa dll yang menggambarkan dahsyatnya produk budaya kaum cendeikia. Puluhan ribu naskah para cendekia tidak mungkin hasil karya sedikit orang. Kita bisa berhipotesa kaum cendikia juga ada dalam jumlah besar.
Sebagaimana konsep Resi ratu dan datu di peradaban sundaland (hipotesa), Bugis juga bisa disimpulkan memang istimewa. jauh sebelum eropa punya sistem pemerintahan demokrasi yang tertata paska feodalisme, Wajo sudah pernah sukses mempraktekkannya. Mekanisme check and balance sebagai ciri utama demokrasi sudah lebih dulu ditempuh peradaban Wajo. Berbeda dengan feodalisme turun temurun, Wajo miliki raja atau pemimpin yang disebut arung matoa Wajo bukan diwarisan tetapi dipilih oleh Arung Patappuloe [40 bangsawan utama], lembaga semacam DPR).
Mengingat kebesaran Bugis, yang menjadi persepsi kini adalah berpetualang ke mana-mana, mendiami areal dekat pantai, transportasi perahu dan posturnya macho. Dimana bangunan berpilar yang menjadi tradisi bangunan hebatnya. Sebuah buku menyebutnya pilar bugis sepanjang masa. (Andi Arief Dua)

Jumat, 11 Januari 2013

To Ugi, Orang Bugis



Ugi bukanlah sebuah kata yang memiliki makna. Tapi merupakan kependekan dari La Satumpugi, nama seorang raja yang pada masanya menguasai sebagian besar wilayah Provinsi Sulawesi Selatan. La Satumpugi terkenal baik dan dekat dengan rakyatnya. Rakyatnya pun menyebut diri mereka To Ugi, yang berarti Orang Ugi atau Pengikut Ugi.
Dalam perjalanannya, seiring gerakan ke-Indonesiaan, Ugi dibahasa-Indonesiakan menjadi Bugis dan diidentifikasikan menjadi salah satu suku resmi dalam lingkup negara Republik Indonesia. Maka muncul dan terkenallah Suku Bugis di Indonesia; bahkan di seluruh dunia.
Wilayah
Wilayah utama Suku Bugis di Sulawesi Selatan adalah Barru, Sidrap, Pinrang, Parepare, Soppeng, Bone, Wajo, dan Palopo. Wilayah-wilayah tersebut berkembang melalui tiga kerajaan besar Suku Bugis, yaitu Kerajaan Bone, Kerajaan Soppeng, dan Kerajaan Wajo. Ditambah beberapa kerajaan kecil lainnya.
Invasi Kerajaan Gowa pimpinan Sultan Hasanuddin terhadap Kerajaan-Kerajaan Bugis membuat banyak orang Bugis merantau untuk menyelamatkan diri. Maka bisa kita dapati saat ini banyaknya kampung Suku Bugis di wilayah lain di luar Sulawesi Selatan, seperti di Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Gorontalo, dan Kalimantan; bahkan sampai di wilayah negara tetangga: Malaysia, Thailand, dan Filipina.
Agama
Pada mulanya, agama Suku Bugis adalah animisme yang diwariskan secara turun-temurun. Namun animisme itu terkikis sejak ulama asal Sumatera bernama Datuk Di Tiro menyebarkan ajaran Islam di Sulawesi Selatan. Islam kemudian menjadi agama utama Suku Bugis hingga kini.
Pun demikian, beberapa komunitas Suku Bugis tidak mau meninggalkan animisme. Ketika Pemerintah Indonesia menawarkan kepada mereka lima agama untuk dianut, mereka lebih memilih agama Budha atau Hindu yang mereka anggap menyerupai animisme mereka. Maka jangan heran kalau ada orang Bugis yang menunjukkan KTP-nya bertuliskan agama Budha atau Hindu.
Bahasa dan Adat
Suku Bugis memiliki bahasa sendiri, bahkan dilengkapi dengan huruf sendiri yang disebut huruf lontara’. Bahkan uniknya, logat bahasa Bugis berbeda di setiap wilayahnya; ada yang kasar dan ada yang halus.
Selain bahasa, Suku Bugis juga kental dengan adat yang khas: adat pernikahan, adat bertamu, adat bangun rumah, adat bertani, prinsip hidup, dan sebagainya. Meskipun sedikit banyaknya telah tercampur dengan ajaran Islam.
Bahasa, huruf, dan adat sendiri yang dimiliki Suku Bugis menandakan satu hal: Suku Bugis pada masanya memiliki peradaban yang luar biasa hebatnya. Nenek moyang Suku Bugis adalah orang-orang pintar yang mampu menciptakan dan mewariskan ilmu pengetahuan.

Tradisi Menghormati Manusia dengan Kain Sarung



Sarung dan orang Bugis, sebuah keniscayaan yang hakiki. Pada banyak tempat, orang yang senantiasa memakai atau memakai sarung pasti selalu diidentikkan dengan orang Sulawesi. Kata Sulawesi mewakili suku Bugis, Makassar, Mandar, Toraja, Tolotang, Kajang serta beberapa sub etnis lainnya di Sulawesi Selatan, berikut suku dan etnis di wilayah Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah dan Gorongtalo.
Memakai sarung memang identik dengan mereka, hampir semua aspek kehidupan dan aktifitas keseharian mereka lekat dengan sarung. Sarung dapat mereka pakai untuk acara resmi, semi resmi dan tidak resmi. Sarung dapat mereka pakai di dalam rumah, di luar rumah hingga di tempat umum. Sarung dapat juga mereka pakai untuk tidur, makan, bekerja di ladang, menggarap sawah, beribadah hingga untuk bersenggama.
Kaum wanita di Sulawesi Selatan terutama yang masih kental dengan tradisi kedaerahannya,  pada umumnya merasa lebih aman jika mandi dengan berbalut kain sarung ditubuhnya, dibanding hanya menutupi bagian vitalnya dengan pakaian dalam apalagi tanpa penutup sama sekali. Tidak hanya jika ia mandi di tempat terbuka, melainkan juga jika ia dalam kamar mandi sekalipun, meski kamar mandi itu berada dalam kamar pribadinya.
Tradisi budaya masyarakat Sulsel melekat kuat dengan fungsi hakikat sarung terutama di masyarakat Bugis. Budaya ini  bahkan diberlakukan untuk tamu yang terlibat cukup dekat dengan aktifitas lingkungan setempat misalnya harus menginap di salah satu rumah warga maka pada umumnya akan disodori 3 lembar sarung.  Tiga lembar sarung memiliki perbedaan baik dari segi bahan, ukuran dan peruntukan. Tiga sarung tersebut masing-masing sarung untuk tidur, sarung untuk mandi dan sarung untuk shalat (bagi tamu muslim). Sarung ketiga ditambahkan untuk melengkapi 2 jenis sarung sebelumnya seiring dengan diterapkan hukum syariat Islam sebagai bagian dari Pangadereng masyarakat Bugis (Makassar: Pagadakkang) – Pemahaman adat, melengkapi empat komponen hukum adat sebelumnya yakni; adeq, bicara, wari dan rapang.
Sarung tidur (Lipa Tinro), merupakan sarung wajib dan menjadi prioritas utama untuk disodorkan oleh tuan rumah. Sarung ini biasanya berbahan (dominan) benang katun, sehingga kainnya luwes dan dapat dengan mudah melekat jatuh pada bentuk tubuh pemakainya. Motifnya sederhana hanya berupa permainan warna, corak atau berupa motif tumbuhan yang dibuat dengan tehnik cap, batik atau sablon. Sarung ini biasanya bukan hasil tenunan melainkan sarung tekstil (buatan pabrik).
Sarung mandi (Lipa Cemme), memiliki bahan, corak dan motif yang relatif sama dengan sarung tidur. Perbedaan terletak pada warna tampilan yang terlihat lebih kusam dibanding sarung lainnya. Warna kusam yang tampak adalah efek dari seringnya sarung ini dibasahi atau dicuci setiap kali sarung ini dipakai mandi oleh pemakainya. Adakalanya, sarung mandi tidak disodorkan bersamaan dengan dua sarung lainnya, biasanya tuan rumah sudah menempatkan sarung mandi ini didalam kamar mandi, terutama jika kamar mandi tersebut berada dalam ruang tidur tadi (kamar mandi dalam).
Sarung shalat (Lipa Sempajang) adalah satu-satunya sarung yang memiliki bahan, corak dan motif yang biasanya berbeda dengan dua sarung sebelumnya. Kebanyakan sarung ini terbuat dari benang katun dengan tambahan benang plastik sintetis berwarna (Bugis : Gengang) sebagai komponen utama yang memunculkan corak dan motif pada sarung tersebut. Bagi tuan rumah yang mampu, biasanya sarung shalat yang disodorkan adalah hasil tenunan. Bagi yang lain cukup dengan sarung pabrikan, tetapi yang masih baru atau relatif baru.
Diluar tiga sarung tersebut, boleh jadi dalam ruang tidur tamu terdapat tambahan satu sarung lagi. Sarung tersebut adalah sarung senggama. Hanya Anda yang memenuhi syarat berikut yang bisa memakai sarung tersebut. Syarat tersebut adalah; Anda sudah menikah, Anda mampu menahan malu untuk melakukan ritual suami istri tersebut di rumah orang lain dan terakhir Anda harus membawa sendiri sarung tersebut.
Tiga lembar sarung yang disodorkan pada setiap tamu bagi orang Bugis menjadi sebuah keharusan sebagai bentuk penghormatan dan memanusiakan tamu. (Sumber : Suryadin Laoddang)

Tradisi Memakai Sarung Perempuan Bugis


Ada satu tradisi memakai sarung kaum perempuan bugis yang tidak bakalan dilakukan kaum pria, bahkan mungkin tak ditemui di etnis lainnya dimuka bumi ini. Perempuan bugis menggunakan sarung untuk menutupi area terlarangnya saat mereka berada diruang umum, saat mereka berlalu didepan khalayak serta saat mereka keluar rumah. Jika dipaksakan untuk mencari analogi yang mendekati pada jaman sekarang, maka tradisi perempuan bugis tersebut mirip dengan tradisi memakai hijab para perempuan Arab.
Cara menutup tubuh itulah yang kita dapati saat perempuan bugis mengenakan dua buah sarung untuk menutup tubuhnya. Satu sarung dipakai pada tubuh bagian bawah, mulai dari uluhati hingga mata kaki. Ujung sarung di uluhati tadi dibebat kencang dengan ujung kain yang diselipkan di sela kain dan kulit tubuh, kadang juga sengaja mengikatkan ujung kain pada satu sisi dengan sisi lainnya. Cara kedua ini lebih banyak dipakai, selain lebih kencang (tidak gampang melorot) juga memaksimalkan efek gombrang saat dipakai.
Satu sarung lainnya dipakai dengan cara menjadikan kain sarung sebagai selubung tubuh, menutupi ujung kepala hingga pertengahan paha. Kurang dari satu setengah jengkal ujung atas tetap dibuka (seukuran wajah) agar tak menghalangi pandangan pemakainya. Sehingga dari depan hanya tampak wajahnya, bahkan pada kondisi tertentu yang tampak hanyalah dua mata sang pemakai, sehingga ujung yang terbuka seolah segaris dengan mata pemakainya.
Kenapa perempuan bugis menutupi tubuhnya sedemikian rupa?
Kondisi ini tidak terlepas pada ajaran kearifan lokal bugis yang menganggap perempuan sebagai sebuah kehormatan yang harus dijaga dengan takaran darah dan nyawa. Inilah alasan kenapa perempuan bugis selalu memiliki tau masiri, pria yang menjadi penjaga kehormatannya, pria yang wajib berkorban membela, mempertahankan dan mengembalikan kehormatan perempuan yang dijaganya, perempuan yang menjadi to risirisi-nya. Ketika perempuan tersebut berada ditempat umum dengan menampakkan bagian terlarang dari tubuhnya, maka sang tomasiri-lah yang malu berat, ia akan menegur sang perempuan. Jika ia tak mampu lagi menegurnya, pilihan terbaiknya adalah sang pria harus meninggalkan kampung halamannya, merantau agar ia tak menjadi sasaran hinaan masyarakat setempat. Sementara bagi sang perempuan yang “tak mau diatur”, maka ia akan dikurung dalam rumah atau ia di pali, diungsikan ketempat lain yang jauh dari kampungnya.
Tradisi memakai hijab ini sudah dikenal masyarakat bugis jauh sebelum agama islam masuk ke tanah Bugis itu sendiri. Makin membudaya kala ajaran agama islam telah diterima di tanah bugis pada kisaran abad XVI-XVII. Hal yang menunjukkan ajaran adat (pangadereng) bugis sejalan dengan hukum syariah (syaraq) islam, minimal dalam urusan menutup aurat.  Hijab sarung ini mulai berlaku pada kisaran abad IX-X. Sayang hijab dengan sarung ini mulai pudar sejak adanya baju bodo yang kala itu masih tipis dan transparan, diperparah lagi dengan kebijakan pemerintah pusat kala itu  “memaksakan” baju kebaya (Bugis:Kobaja) menjadi busana nasional.
Jika dulu perempuan bugis yang berhijab sarung mendapat pujian “niganaro anaq dara iyaro? Malebbimani, namoha ille matanna dettona nrulle mita” (siapa gerangan dara itu, sungguh anggun dan santun, bahkan sekedar melihat garis matanyapun kita tak mampu). Kini pujaan itu berganti cibiran “nigana anaq dari iyaro? Demanagaga sirina, namohan wille pelli-pellinna yodding toni irita” (siapa gerangan dara itu, tak kenal malu, hingga belahan pantatnyapun dengan mudah kita lihat).  Sungguh ironis! ( Sumber : Suryadin Laoddang)

Kamis, 03 Januari 2013

Cikal Bakal Kerajaan Wajo

 
Komunitas Lampulung-Sejarah Wajo Bagian I
 
Sebelum Terbentuknya NKW atau Negara Kerajaan Wajo telah tercatat dalam LSW atau Lontarak Sukku na Wajo bahwa ada Komunitas Nomaden yang bernama Komunitas Lampulung,Awal dari Komunitas ini adalah Hidup seorang Kakek dan Cucunya yang Tinggal di sekitaran Tappareng Lampulung atau Danau Lampulung (dekat tosora) kakek kemudian membuka lahan pertanian di sekitaran tapareng lampulung,karena berhasil membuka lahan pertanian,dan banyaknya mata pencaharian agraris di sekitaran tappareng lampulung.

Tersebarlah berita ke seluruh penjuru bahwa ada tempat yang subur dan banyak makanan dan mata pencaharian di sekitar tappareng lampulung,datanglah banyak pendatang menuju ke tappareng lampulung seperti dari bone,luwu,rappang,enrekang,gowa,dll dan dari peristiwa itulah danau kecil ini di beri nama Tappareng (Danau) Lampulungeng yang dalam bahasa indonesia berarti berkumpul.

Tappareng Lampulung

Kemudian dari banyaknya orang yang bermukim di sekitar tappareng lampulung ,dari proses musyawarah di bentuklah Komunitas Lampulungeng yang Ketuanya adalah kakek yg membuka daerah itu dan di gelari Puatta Ri Lampulungeng yang tidak jauh dari sisi sungai cenrana yang sampai sekarang belum temukan bukti dan data dari mana asal komunitas nomaden ini dan siapa nama peminpimnya yang di gelari Puatta Ri Lampulung sesuai dengan nama danau atau tappareng itu.

Kata Assipulungeng yang dalam Bahasa Indonesia berarti ( berkumpul atau tempat berkumpu) menjadi hal yang begitu lekat dengan penamaan danau dan ciri terbentuknya.


Komunitas Boli-Sejarah Wajo Bagian II

Seiring dengan berjalannya waktu komunitas lampulung mulai bergeser ke arah timur yang paling sedikit ada 8 rawa serupa.

Ketika Puatta ri lampulungeng meninggal terjadi kekosongan dan kemudian muncullah tokoh baru yang di kenal Puatta Ri Timpengeng tokoh yang kemudian memimpin komunitas lampulung,pergeseran wilayah berdasarkan literatur di sebabkan oleh pencarian lahan atau daerah yang lebih produktif  sesuai pertambahan populasi anggota komunitas yang makin bertambah.
Kemudian setelah berakhirnya masa komunitas lampulung muncullah Komunitas Boli yang lebih besar dan juga sekarang terbagi dan sering di sebut (tosora,tellulimpo,Tua,tajo) tak banyak literatur yang menyebutkan keberadaan Komunitas ini tapi konon inilah yang menjadi cikal Kerajaan Cinnongtabi dan khususnya Negara Kerajaan Wajo.

Tosora dan Sekitarnya

seiring dengan bertambah baynyaknya komunitas akhirnya di bentuklah Tata Pemerintahan Tradisional Kerajaan cinnongtabi


Keraajan Cinnongtabi-Sejarah Wajo Bagian III

Bayaknya komune-komune (komunitas)  yang terbenuk di sekitar daerah rawa (tosora) dan mulai lah terbentuk Tata Pemerintahan Tradisional Kerajaan Cinnongtabi yang di tandai oleh Kedatangan Lapaukke seorang pangeran dari kerajaan atau kedatuan Cina (Pammana) yang kemudian membangun kerajaan Cinnotabbi.
Tata Pemerintahan Tradisional Keraajaan Cinnongtabi yang merupakan Cikal Bakal Terbentuknya Kerajaan Wajo.
Lima generasi kerajaan Cinnongtabi sebelum bubarnya, kerajaan ini bubar dan kemudian terbentuklah Kerajaan Wajo. Kerajaan Cinnongtabi di nahkodai :
La Paukke Arung Cinnotabi I,
We Panangngareng Arung Cinnotabi II,
We Tenrisui Arung Cinnotabi III,
La Patiroi Arung Cinnotabi IV.
kemudian kedua putra  La Patiroi Arung Cinnotabi IV menjabat sekaligus sebagai Arung Cinnotabi V yakni :

La Tenribali dan La Tenritippe.Pada Masa Kepemimpinan Arung Cinnongtabi V ini lah terjadi model kepemimpinan Dualisme atau Dua Raja yang memimpin dalam satu kerajaan,pada masa inilah Kerajaan Cinnontabi mmengalami krisis karena tidak bisa sejalannya antara dua Arung Cinnongtabi V ini.terjadinya masalah-masalah yang tidak bisa di selesaikan kemudian membuat Kerajaan Cinnongtabi di bubarkan.

Peta Sekitar Tosora

Kemudian Sisa-Sisa pejabat kerajaan Cinnotabi dan rakyatnya bersepakat berkumpul dan bermusyawarah di bawah pohon bajo dan memilih La Tenribali sebagai raja mereka dan mendirikan kerajaan baru yaitu Wajo.

Pada masa awal rajanya bergelar Batara Wajo. Kerajaan Wajo dipimpin oleh, La Tenribali sebagai Batara Wajo I (bekas arung cinnotabi V), kemudian La Mataesso Batara Wajo II dan La Pateddungi Batara Wajo III. Pada masa Batara Wajo III, terjadi lagi krisis bahkan Batara Wajo III dibunuh. kekosongan kekuasaan menyebabkan lahirnya perjanjian La Paddeppa yang berisi hak-hak kemerdekaan Wajo. setelahnya, gelar raja Wajo bukan lagi Batara Wajo tetapi  menjadi Arung Matowa Wajo hingga adanya Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Allangkanangnge Ri Tanete Sarepao sebagai Ibukota Kerajaan Cina (Pammana)

Kerajaan Cina pada epos I la galigo sangat penuh misteri, cerita lisan yang selama ini beredar tentang di mana pusat Kerajaan cina sangat kabur karena ada beberapa daerah juga di luar Wajo pun mengklaim bahwa daerahnya merupakan ibukota kerajaan Cina dahulunya. Walaupun dalam penggambaran topograpgy sekarang wilayah Kerajaan cina saat ini telah terbagi menjadi dua bagian besar wilayah dimana dibagi oleh dua kabupaten yaitu Kabupaten wajo dan Bone.
Sampai saat ini penguatan sastra lisan dan berupa situs serta sastra tulisan berupa naskah-naskah lontaraq memang lebih cenderung tertuju bahwa Kerajaan Cina dahulunya berpusat di salah satu daerah di Kabupaten Wajo yaitu Pammana.

Beberapa daerah di wilayah kecamatan Pammana saat ini banyak memberikan gambaran sangat jelas bahwa Kerajaan Cinna memang dahulunya berpusat disin. Dan sampai saat ini penguatan identitas akan tertuju pada suatu kawasan yanmg bernama Allangkanangnge Ri Tanete yang berada di suatu dusun yaitu Dusun Sarepao.

Sarepao

Dalam berapa buku-buku yang mengupas sejarah Sulawesi Selatan seperti buku yg ditulis Cristian Pelras yang berjudul The Bugis yang diterbitkan di tahun 1996 oleh Penerbit Blackwell di Inggris.
Buku ini sangat kaya dengan detail yang didasarkan pada hasil kajian berbagai ahli, tapi buku ini memiliki plot yang "sederhana." Dalam plot ini diasumsikan adanya satu entitas/ kelompok masyarakat "Bugis" dan entitas ini memiliki sejarah (artinya ada asal-usulnya) dan mengalami proses evolusinya (2)
Dalam buku tersebut pada intinya mengacu pada sosok tokoh dari sekelompok masyarakat yang dikenal dengan nama To Ugi dimana pemimpinya bernama La Santumpugi (4). Dan La Santumpugi juga merupakan ayah dari We Cudai istri dari Sawerigading yang dikisahkan dalam epos I La Galigo. walaupun pada buku Manusia Bugis Ada 3 hal besar yang dianggap bermasalah dari narasi Pelras atas masyarakat Bugis dalam buku ini. Dari ketiga hal tersebut hal besar yang pertama disebabkan oleh terbatasnya kajian tentang Sulawesi Selatan untuk menopang satu buku yang mencoba bersifat komprehensif seperti buku ini. (1) Namun dibalik itu Buku ini menjelaskan kronik besar yang berkisah tentang apa yang diyakini oleh Pelras sebagai masyarakat Bugis yang, dalam bahasanya sendiri "yang bertahan dan yang berubah." Ini bukanlah sebuah buku yang berkeinginan untuk menjelaskan apalagi berdebat tentang masyarakat Bugis di saat ini, atau apakah yang ada adalah berbagai masyarakat Bugis dengan segala keanekaragamannya, atau pun kenapa masyarakat Bugis mendapat bentuknya yang sekarang. Buku ini adalah buku pengantar sekaligus buku referensi (2)

Kita kembali kepada situs-situs yang dapat mendukung di mana letak pastinya pusat kerajaan Cina dahulunya. Menurut pedagang antik di Ujung Pandang dan Palopo, sebagian dari potongan-potongan barang antik berupa keramik dan lain sebagainya ditemukan di Luwu dan Selayar. Walaupun ada juga Keramik berasal dari abad 13 M atau abad 15 M juga dapat ditemukan di daerah pedalaman lembah Walennaé , Dari hasil penggalian di lembah sungai Walanae yang di fokuskan dari berupa reruntuhan situs dan makam-makam kuno yang paling banyak ditemukan adalah keramik China yg berasal dari abad ke 16 terutama wilayah Sarepao (3.1992: Ch 5-13.). Dan dalam penelitian The Earthenware from Allangkanangnge ri Latanete excavated in 1999 yang dilakukan oleh team The South Sulawesi Historical and Prehistoric Archaeology Project ,Australian National University yakni David Bulbeck dan Budianto Hakim dari Balai Arkeologi Makassar . Berikut kutipan dari tulisan Allangkanangnge ri Latanete excavated in 1999 yakni :
Allangkanangnge, terletak di kampung Sarepao, desa We Cudai, kecamatan Pammana, kabupaten Wajo di Sulawesi Selatan, Indonesia. (1)





Ini adalah salah satu situs tempat memiliki nila sejarah tinggi. Allangkanangnge terkenal menjadi istana dari We Cudai (Epos I La Galigo), dan dikenal sebagai pusat istana kerajaan Cina sampai Cina berubah nama menjadi Pammana. Survei arkeologi situs kembali dilakukan pada pertengahan abad kedua puluh, saat Kaharuddin (1994) menghasilkan sketsa peta situs, tapi tidak ada survei sistematis isi permukaan situs atau penggalian ilmiah sampai ekspedisi Inggris-Indonesia yang dipimpin oleh Ian Caldwell ( University of Leeds). Antara 1- 3 Agustus 1999, tim Inggris-Indonesia, yang termasuk salah satu penulis laporan ini (BH), dikumpulkan 251 keramik (tradeware) pecahan berserakan di permukaan, dan digali pola system meter persegi di dalam wilayah yang diidentifikasi oleh Kaharuddin sebagai daerah pusat utama ( sherdage konsentrasi) (1)

Semua keramik-keramik (tradewares) antara abad 13M – 17M, selain itu ada beberapa jumlah yang berasal dari abad 19-20 M. Pusat permukaan yang mencerminkan penggunaan terbaru dari situs - terutama, yang ditingkatkan menjadi situs monumen oleh masyarakat lokal (Bulbeck 2000; Bulbeck dan Caldwell 2000 ). Sampel lainnya yang berupa cangkang laut, yang merupakan spesies mangrove (Academy of Natural Sciences 2004), adalah tanggal ke 820 + / - 60 BP (ANU-11352). Dilihat ini akan sesuai juga sekitar abad 13M , jika sampel adalah terestrial, tetapi harus dilakukan penyisihan atas isi karbon laut ini berupa sampel intertidal. Usia juga bisa pada abad 14 M atau ke 15 M, jika kita berasumsi bahwa setengah dari kandungan karbon laut, namun perlu dicermati (75% karbon laut) akan menunjukkan 1 / 14 pada awal abad 17M. Rentang usia yang disebutkan sebelumnya sangat cocok dengan 13M sampai dengan abad 17M di indikasikan untuk keramik-keramik Allangkanangnge Sarepao , dan dengan demikian menegaskan status situs sebagai pusat pra-Islam Kedatuan Cina. (1)
Dari kutipan dari tulisan Allangkanangnge ri Latanete excavated in 1999 memberikan penguatan identitas akan letak pastinya pusat kerajaan Cina yakni Sarepao. Namun ada beberapa hal yang mejadi tanda tanya besar akan kajian penelitian arkelogi yang dilakukan oxis apabila dikaitkan dengan epic I La Galigo dimana kurun waktunya yang sangat berjauhan apalagi bila merunut tentang kajian epos I lag Galigo yang diperkirakan pada era abad ke 9M – 10 M, dan yang hanya bisa ditarik kesimpulan bahwa kemungkinan bahwa peradaban tersebut memang di sekitar abad ke 9 M dan kontak perdagangan yang terjadi dalam skala besar terjadi di abad ke 13M ( mohon lihat postingan Kekuatan Ekomi dalam Perdagangan Pelaut Bugis – Makassar ).

Saran

Kesadaran akan nilai-nila budaya serta sejarah adalah milik bersama bukan segolongan atau sekelompok lapisan tertentu saja.

Hal yang menjadi perhatian serius bagi pemerintah propinsi Sulawesi selatan khususnya pemerintah tingkat II kabupaten Wajo adalah memberikan pemeliharaan dan pelestarian situs ini karena bisa dikatakan 90% situs ini sudah hancur dan tidak ada sama sekali perhatian.

peranan pemerintah serta bersama masyarakat merupakan andil besar dalam kelangsungan perjalanan nilai-nilai sejarah



Semoga kajian-kajian berupa penelitian baik berupa penelitian arkeologi dan antropologi dapat membantu penguatan beberapa sastra lisan yang selama ini beredar di Pammana terutama juga penguatan ke beberapa naskah tua berupa lontarak yang selama ini dijadikan sumber referensi untuk penulisan buku-buku sejarah.



Sumber :- (1)The Earthenware from Allangkanangnge ri Latanete excavated in 1999, Date of Document: 27 June 2005 , David Bulbeck ,School of Archaeology and Anthropology, The Australian National University, Canberra, Australia and Budianto Hakim, Balai Arkeologi Makassar, Makassar, South Sulawesi, Indonesia,
- (2) Tentang Manusia Bugis Karya Pelras Oleh Dias Pradadimara (Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin, Makassar)
- (3). Bulbeck, F.D., 1992, 'A tale of two kingdoms; The historical archaeology of Gowa and Tallok, South Sulawesi, Indonesia, Australian National University, Canberra.
- (4) Pelras, C, 1971, The Bugis, Oxford: Blackwells
- Caldwell Power, state and society among the pre-islamic Bugis In: Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde.

Rabu, 29 Agustus 2012

Sejarah Wajo

Kebesaran tanah Wajo pada masa dahulu, termasuk kemajuannya di bidang pemerintahan, kepemimpinan, demokrasi dan jaminan terhadap hak-hak raknyatnya. Adapun konsep pemerintahan adalah :
  1. Kerajaan
  2. Republik
  3. Federasi, yang belum ada duanya pada masa itu
Hal tersebut semuanya ditemukan dalam LONTARAK SUKKUNA WAJO. Sebagaimana yang diungkapkan bahwa beberapa nama pada masa Kerajaan Wajo yang berjasa dalam mengantar Tana Wajo menuju kepada kebesaran dan kejayaan antara lain :
  1. LATADAMPARE PUANGRIMAGGALATUNG
  2. PETTA LATIRINGENG TO TABA ARUNG SIMETTENGPOLA
  3. LAMUNGKACE TOADDAMANG
  4. LATENRILAI TOSENGNGENG
  5. LASANGKURU PATAU
  6. LASALEWANGENG TO TENRI RUA
  7. LAMADDUKKELLENG DAENG SIMPUANG, ARUNG SINGKANG (Pahlawan Nasional)
  8. LAFARIWUSI TOMADDUALENG
Dan masih banyak lagi nama-nama yang berjasa di Tanah Wajo yang menjadi peletak dasar kebesaran dan kejayaan Wajo.
Beberapa versi tentang kelahiran Wajo, yakni :
  1. Versi Puang Rilampulungeng
  2. Versi Puang Ritimpengen
  3. Versi Cinnongtabi
  4. Versi Boli
  5. Versi Kerajaan Cina
  6. Versi masa Kebataraan
  7. Versi masa ke Arung Matoa-an
Dari versi tersebut, disepakati yang menjadi tahun dari pada Hari Jadi Wajo ialah versi Boli, yakni pada waktu pelantikan Batara Wajo pertama LATENRI BALI Tahun 1399, dibawah pohon besar (pohon Bajo). Tempat pelantikan sampai sekarang masih bernama Wajo-Wajo, di daerah Tosora Kecamatan Majauleng.
Terungkap bahwa, pada mulanya LATENRI BALI bersama saudaranya bernama LATENRI TIPPE secara berdua diangkat sebagai Arung Cinnongtabi, menggantikan ayahnya yang bernama LAPATIROI. Akan tetapi dalam pemerintahannya, LATENRI TIPPE sering berbuat sewenang-wenang terhadap rakyatnya yang diistilahkan ”NAREMPEKENGNGI BICARA TAUWE”, maka LATENRI BALI mengasingkan dirinya ke Penrang (sebelah Timur Tosora) dan menjadi Arung Penrang. Akan tetapi tak lama kemudian dia dijemput rakyatnya dan diangkat menjadi Arung Mata Esso di Kerajaan Boli. Pada upacara pelantikan dibawah pohon Bajo, terjadi perjanjian antara LATENRI BALI dengan rakyatnya dan diakhiri dengan kalimat ”BATARAEMANI TU MENE’ NA JANCITTA, TANAE MANI RIAWANA” (Hanya Batara Langit di atasnya perjanjian kita, dan bumi di bawahnya) NARITELLANA PETTA LATENRI BALI PETTA BATARA WAJO.
Berdasarkan perjanjian tersebut, maka dirubahlah istilah Arung Mata Esso menjadi Batara, dan kerajaan baru didirikannya, yang cikal bakalnya dari Kerajaan Boli, menjadi Kerajaan Wajo, dan LATENRI BALI menjadi Batara Wajo yang pertama.
Sedangkan untuk menentukan tanggal Hari Jadi Wajo, dikemukakan beberapa versi, yakni :
  1. Versi tanggal 18 Maret, ketika armada Lamaddukkelleng dapat mengalahkan armada Belanda di perairan Pulau Barrang dan Koddingareng.
  2. Versi tanggal 29 Maret, ketika dalam peperangan terakhir, Lamaddukkelleng di Lagosi, dapat memukul mundur pasukan gabungan Belanda dan sekutu-sekutunya.
  3. Versi tanggal 16 Mei, ketika Lasangkuru Patau bergelar Sultan Abdul Rahman Arung Matoa Wajo, memeluk agama Islam.
  4. Versi ketika Andi Ninnong Ranreng Tuwa Wajo, menyatakan di depan Dr. SAM RATULANGI dan LANTO DG. PASEWANG di Sengkang pada Tahun 1945 bahwa rakyat Wajo berdiri di belakang Negara Kesatuan Indonesia.
Dari versi tersebut, disepakati yang menjadi tanggal daripada Hari Jadi Wajo, ialah versi tanggal 29 Maret, karena sepanjang sejarah belum pernah ada pejuang yang mampu mengalahkan Belanda pada pertempuran terakhir. Peristiwa ini terjadi pada Tahun 1741.
Dengan perpaduan dua versi tersebut di atas, maka disepakati: Hari Jadi Wajo ialah Tanggal 29 Maret 1399.
Kebesaran dan kejayaan Kerajaan Wajo pada masanya, disebabkan oleh berbagai aspek sebagaimana telah dikemukakan tedahulu, namun ada hal yang sangat hakiki yang perlu mendapatkan perhatian, yakni adanya kepatuhan dan ketaatan Raja dan rakyatnya terhadapat Pangadereng, Ade yang diwarisi dan disepakati, Ade Assiamengeng, Ade Amaradekangeng, sistem Ade dengan sitilah ADE MAGGILING JANCARA, serta berbagai falsafah hidup, pappaseng dan sebagainya.
Kepatuhan dan ketaatan rakyat Wajo terhadap rajanya, sebaliknya perhatian dan pengayoman raja terhadap rakyatnya adalah satu aspek terwujudnya ketentraman dan kedamaian dalam menjalankan pemerintahan pada masa itu. Hal ini dapat kita lihat, pada saat LA TIRINGENG TO TABA dalam kedudukannya sebagai Arung Simettengpola mengadakan perjanjian dengan rakyatnya. Perjanjian ini dikenal dengan ”LAMUNGPATUE RILAPADDEPA” (Penanaman batu = Perjanjian Pemerintahan di Lapaddeppa’).
Inti dari perjanjian ini ialah bahwa rakyat akan patuh terhadap perintah raja, asalkan atas kebaikan dan kemaslahatan rakyat, demikian pula raja akan senantiasa mengayomi rakyatnya dengan dasar Ade, Pengadereng (hukum), dengan pengakuannya :
”IO TO WAJO, MAUTOSA MUPAMESSA’, MUA RIATIMMU, MUPAKEDOI RILILAMU MAELO’E PASSUKKA’ RIAKKARUNGEKKU RI BETTENGPOLA, MAPERING TOKKO NA BACU BACUE, ONCOPISA REKKO MUELOREKKA’MAJA’ MATTI PAJJEO TO WAJO”
Artinya :
Ya orang-orang Wajo, sekalipun menimbulkan dalam hatimu atau menggerakkan dalam lidahmu, hendak mengeluarkan aku dari jabatan kerajaanku di Bettengpola, engkau akan tersapu bersih dari pada tersapunya batu-batu. Apalagi jika kalian bermaksud jahat terhadapku, maka engkau kering bagaikan garam.
Pada bagian lain Petta Latiringeng To Taba Arung Sao Tanre, Arung Simettengpola mengemukakan ”NAPULEBBIRENGNGI TO WAJJOE MARADEKA NAKKEADE’, NAMAFACCING RI GAU SALAE, NAMATINULU MAPPALAONG, NASABA RESOFA TEMMANGINGNGI MALOMO NALETEI PAMMASE DEWATA, NAMAFAREKKI WARANG PARANG, NASABA WARANG PARANGMITU WEDDING MAPPATUWO, WARANG PARANG MITU WEDDING MAPPAMATE”.
Artinya :
Yang menjadikan orang Wajo mulia ialah Kemerdekaan yang menjunjung tinggi hukum dan hak azasi manusia, ia rajin bekerja, karena hanya dengan kerja keras sebagai titian untuk mendapatkan limpahan Rahmat dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Hemat terhadap harta benda, karena harta benda orang bisa hidup sempurna dan harta benda pula bisa mematikan orang.
Apa yang telah diletakkan oleh Batara Wajo Pertama ini, oleh Batara Wajo dan Arung Matowa berikutnya terus dikembangkan sampai masa pemerintahan ARUNG MATOWA WAJO KEEMPAT: LATADAMPARE PUANG RIMAGGALATUNG, Wajo mencapai kejayaan. Pada masa pemerintahan inilah selama sepuluh tahun disempurnakan segala peraturan hukum adat, pemerintahan dan peradilan, dan mengajarkan etika pemerintahan, merealisasikan demokrasi dan hak-hak azasi manusia, konsep negara sebagai abdi rakyat (public servent) dan konsep Rule of Law (hukum yang dipertuan bukan raja).
Salah satu Ade Amaradekangengna yang dimuat secara terpencar dalam Lontarak Sukkuna Wajo, yang selanjutnya menjadi motto pada Lambang Daerah Kaubpaten Wajo (walaupun disingkatkan), antara lain berbunyai :
”MARADEKA TOWAJOE NAJAJIAN ALENA MARADEKA, TANAEMMI ATA, NAIYYA TOMAKKETANAE MARADEKA MANENG, ADE ASSAMA TURUSENNAMI NAPOPUANG”.
Artinya :
Orang-orang Wajo, adalah orang merdeka, mereka merdeka sejak dilahirkan, hanya negeri mereka yang abdi, sedangkan si pemilik negeri (rakyat) merdeka semua dan hanya hukum adat yang disetuji bersama yang mereka pertuan.
Kebesaran dan kemuliaan Tana Wajo disebutkan dalam Lontarak :
MAKKEDATOI ARUNG SAOTANRE PETTA TO TABA’ LA TIRINGENG : ”NAIA PARAJAIENGNGI WAJO’, BICARA MALEMPU’E NAMAGETTENG RI ADE’ MAPPURAONRONA, NAMASSE’ RI ADE’ AMMARADEKANGENNA IA TONA PASIAMASENGNGE TAUE RI LALEMPANUA, PASIO’DANINGNGE TAU TEMMASSEAJINGNGENG, NASSEKITOI ASSEAJINGENNA TANAE. NAPOALIE’-BIRETTOI TO WAJO’E MARADEKAE, NAIATOSI NAPOASALAMAKENGNGE TO WAJO’E MAPACCINNA ATINNA NAMALEMPU’, NAMATIKE’, NAMATUTU, NAMETAU’ RI DEWATA SEAUAE, NAMASIRI’ RIPADANNA TAU. LATONARO KUAE PACCOLLI’I PA’DAUNGNGI WAJO’, PATTAKKEI, PAPPALEPANGNGI, PAPPARANGA-RANGAI, NALORONG LAO ORAI’, LAO ALAU’, LAO MANINAG, LAO MANORANG, MATERENG RAUNNA MACEKKE’ RIANNAUNGI RI TO WAJO’E”.
Artinya :
Berkata pula Arung Saotanre Tuan Kita To Taba’ La Tiringeng: ”Yang membesarkan Wajo, ialah peradilan yang jujur, getang pada adat tetapnya dan teguh pada adat kebesarannya. Itu pula yang menyebabkan orang-orang saling mengasihi di dalam negeri, saling merindui orang-orang yang tidak bersanak dan mengukuhkan persahabatan negeri. Menjadikan pula orang-orang Wajo mulia karena kebebasannya. Yang menyelamatkan orang-orang Wajo, ialah ketulusan hatinya dan kejujurannya lagi waspada, berhati-hati, takut kepada Dewata Yang Esa dan menghargai harkat sesamanya manusia. Yang demikian itulah yang memutikkan dan mendaunkan Wajo, menangkaikan dan memelepahkan serta melebarkannya, menjalar ke barat, timur, selatan dan ke utara, rimbun dan dingin daunnya dinaungi oleh orang-orang Wajo”.
Nilai-nilai luhur yang antara lain dikemukakan di atas, maupun dalam Lontarak Sukkuna Wajo adalah kearifan yang menjadi jati diri rakyat Wajo, yang seharusnya kita kembangkan dan lestarikan.
Sumber :
  1. Wajo Abad XV-XVI, Suatu Penggalian Sejarah terpendam Sulawesi Selatan dari Lontara;
    Prof. Mr. Dr. Andi Zainal Abidin, 1985
  2. Munculnya Kerajaan Elektif Wajo, Suatu Percobaan untuk Menemukan Hari Jadi Daerah Wajo;
    Prof. Mr. Dr. Andi Zainal Abidin, 1985
  3. Sejarah Singkat Hari Jadi Wajo;
    Drs. Hamid M. ; Andi Pabbarangi ; Dammar Jabbar, Maret 2000
  4. Panitia Hari jadi Wajo (HJW). ke-610 Tahun 2009